NAMAKU NAZIFA (CERITA BERSAMBUNG PART 2) Selasa, 14/06/2016 | 12:54
Inilah yang aku inginkan selama ini, tapi kenapa? Aku mulai merasa bahwa aku memang jauh dari sang ayah yang tidak pernah sepaham denganku. Seorang ibu tiri yang hanya mengincar harta ayahku. Apakah aku akan bahagia dengan semua perbedaan ini?. Akupun tidak mengerti, kakiku terhenti dimuka pintu yang tidak cantik lagi, kusam, lapuk. Tiba tiba aku ragu, padahal tekadku sejak kemarin sudah bulat, lalu kenapa ada rasa ingin mundur?
NAMAKU NAZIFA
PART 2
Tiba-tiba seekor nyamuk hinggap dipipiku, aku tau tatkala sengatannya terasa gatal, kutepuk agak keras berharap si nyamuk terkapar berdarah ditelapak tanganku, namun sayang si nyamuk terlalu lincah, dengan perut kekenyangan ia terbang setengah kocar kacir, namun aku patut berterimakasih pada sang nyamuk yang membuatku tersadar dan kembali pada kenyataan.
Setelah membuka pintu aku melangkah kedalam dan melihat lihat seluruh ruangan yang ada, ruang tamu, kamar dan dapur yang bersanding dengan kamar mandi, bagusnya semua ruangan berlantai keramik putih walaupun sudah ada beberapa sisi yang pecah. Ku masuki kamar yang berukuran tiga kali tiga itu seraya membawa koper besar ditangan, belum ada kasur, bantal dan perabotan apapun. Dengan berbantalkan pakaian aku berbaring melepas lelah, ku ambil buku dan pulpen lalu menulis semua kebutuhan yang diperlukan, uang tabungan masih banyak, semuanya sudah ku cairkan tadi pagi di bank, sebelum di blokir. Alhamdulillah akan cukup untuk beberapa minggu kedepan, namun tentu saja aku hanya menunggu uang itu habis, aku akan bekerja, aku adalah Nazifa, seorang sarjana Ekonomi, masa hanya diam dirumah, tidak pantas, pikirku.
Setelah cukup lama berpikir dan membahas sendiri apa yang aku butuhkan dan perlukan akhirnya kantukpun menyerang, sebelum akhirnya menutup mata aku menyempatkan mataku untuk melirik bonia dipergelangan tanganku, masih pukul delapan lewat lima menit. Aku mencoba untuk bertahan terjaga untuk kembali mempersiapkan dan merencanakan segalanya, tapi mataku sudah tidak bisa diajak kompromi lagi.
***
Sahutan ayam yang berulang ulang kali dikampung ini cukup membuatku terjaga dari tidur lelap tadi malam, setelah membuka jendela yang belum diberi gorden itu aku melirik jam lagi, ternyata sudah jam lima tiga puluh menit, bagiku ini adalah pagi yang buruk, seharusnya bangun lebih awal, dengan tergesa-gesa aku ke kamar mandi, ambil wudhu dan segera sholat.
Baru selesai salam kedua, tiba tiba aku teringat handphone yang belum ku sentuh sejak semalam, kuambil dari saku kecil tas ranselku, dilayar ukuran besar tertera lima kali panggilan tak terjawab, saat kusentuh panggilan jam sepuluh malam itu atas nama Papa, Sosok itu lalu terbayang dibenakku, sosok yang pemarah, laki laki tua bertubuh gempal yang jauh dari sifat baik, tulus dan bijaksana. aku menaruh kembali dan berpikir untuk tidak perduli, tapi sejenak kemudian handphone itu berbunyi nyaring. Dari Papa lagi,
Kujawab saja, ingin tahu apa yang akan dikatakannya kali ini.
"Halo " sapaku
"Kamu dimana Zifa?" suara itu terdengar marah
Aku mencoba bersikap tenang dan menjawab apa adanya, aku tidak mau papa mengira aku sengaja meninggalkannya.
"Pa, Zifa kira Zifa tidak akan pernah mendapat kebahagiaan dirumah itu, makanya Zifa mencari jalan keluar sendiri, Zifa sekarang berada dirumah kontrakan,"
"dirumah kontrakan siapa? Dimana?" tanyanya tak sabar.
Aku diam saja. "kamu dimana? Jadi kamu memang ingin meninggalkan rumah?"
"iya, sekarang Zifa lebih aman, tentram, dan tidak berdebat lagi sama papa, papa pasti senang khan?"
"diam kamu! Papa hanya ingin kamu pulang secepatnya, ada rekan bisnis papa yang akan datang kerumah, dia akan memberikan kamu pekerjaan yang bagus"
"katakan terimakasih padanya, maaf pa, Zifa tidak bisa pulang dan Zifa akan mencari kerja dengan cara Zifa sendiri" kataku datar. Papa terdengar menghela nafas panjang, sepertinya ia kecewa sekali, aku tidak perduli.
"jangan membantah saya Nazifa!, dimanapun kamu berada, Papa akan tetap mencari dan mendapatkan lalu membawa kamu pulang, kamu dengar?"
"terserah Papa, Zifa jadi heran, kenapa Papa tidak bosan menyiksa Zifa?, padahal Papa tahu kalau Mama dialam sana benci melihat tingkah Papa yang dictator itu"
"jangan membawa nama Mama kamu yang udah mati itu!" bentaknya, lalu sambungan pun terputus, aku terperangah, kenapa semakin banyak saja orang berhati keji di dunia ini, apa begitu kata kata yang pantas diucapkan seorang Ayah?, tetes demi tetes airmataku menganak sungai di pipi. Tak sanggup untuk ku bendung lagi.
Tidak lama dan sudah biasa, aku tidak mau berlama lama dalam kesedihan, akupun beranjak ke kamar mandi dan segera siap siap untuk memulai hari ini dengan awal yang lebih baik. Jangan sampai kecerobohanku yang dulu dulu menghancurkan hidupku yang susungguhnya harus aku mulai lagi hari ini, lagipula aku harus tunjukkan ke Papa, kalau aku bisa hidup mandiri tanpa uluran tangannya lagi.
Saat aku membuka pintu depan, cahaya mentari pagi yang sehat langsung menyambutku hangat, di rumah tetangga tampak ramai oleh suara ibu ibu yang belanja sayuran, ntah apa yang dibicarakan sesama mereka, terdengar tawa dan canda riuh sahut sahutan, hadirku mengundang perhatian mereka, aku tersenyum semanis mungkin, memberi anggukan salam. Tapi mereka malah memandangku lekat dan lama. Apa ada yang aneh denganku? (Bersambung)